Rabu, 28 November 2012

MLTR - Scandinavia (2012)


Michael Learns To Rock – Scandinavia (2012)

1. Renovate My Life
2. Any Way You Want It
3. Space Commander
4. Heaven Is My Alibi
5. Please Forgive Me
6. Hanging On
7. Shanghai in Tokyo
8. Crazy World
9. Make Me Feel
10. Icebreaker
11. Scandinavia



Pola penulisan lirik sederhana, melodi manis dan melanutkan—bagaimana menjadi karakter musik Jascha Richter, Mikkel Lentz dan Kare Wanscher sejak lama, masih dapat kita temukan di album terbarunya, Scandinavia. Dirilis empat tahun setelah kumpulan terdahulunya, Eternity, membuat Scandinavia terasa matang dan menyenangkan.

Lirik bertema kontemplatif hadir di nomor pembuka bertempo sedang, Renovate My Life. Puisi cinta nan manis tertuang di bait-bait Any Way You Want It. Heaven Is My Alibi tampil dengan lirik mudah dicerna dan dihapal. Make Me Feel disusun dalam balutan musik pop sederhana. Icebreaker, sesuai judulnya, mampu mencairkan suasana menjadi recup dan suam-suam kuku.

Tak hanya mengandalkan tembang-tembang bertema balada, lagu bertempo cepat juga ditampilkan MLTR pada Crazy World, Space Commander dan Shanghai in Tokyo—di mana kita dapat menemukan ritual lantai dansa di detak iramanya. Namun, kendati melodinya terkesan lebih tajam, semuanya masih terasa ramah didengar di pagi hari.

Lalu, denting piano nan manis, tatanan musik bernuansa akustik, ditambah lirik bertema kepulangan, membuat Scandinavia menjadi nomor sempurna penutup album. Tidak hanya mengumbar aura romansa dalam liriknya, kesan hangat pun terasa sublim di laras melodinya.

Selain cocok diputar sebagai teman berkendara, musik MLTR juga enak disimak dan didengarkan bersama anak dan istri di ruang keluarga. Meski beberapa lagunya terdengar konstan, penataannya di album cukup tepat dan dinamis—membuat kita betah mendengarnya kali berkali. MLTR juga semakin lihai memadukan notasi dan harmoni dalam setumpuk perangkat musik sederhana, barangkali bernaung di label sendiri membuat mereka semakin bebas berekspresi.

Dalam tiga dekade berkarya, delapan album telah tercipta, kira-kira apa lagi hendak diberikan MLTR selanjutnya? Kita nantikan =).

28 November 2012

Keenan Nasution - Akustik (2012)


Keenan Nasution – Akustik (2012)

1. Zamrud Khatulistiwa (bersama Rida RSD)
2. Di Kelembutan Malam (ditampilkan Darryl Nasution dan Ida Royani)
3. Nuansa Bening (bersama Rida RSD)
4. Adikku (bersama Rida RSD)
5. Hujan
6. Cakrawala Senja (ditampilkan Darryl Nasution)
7. Bidak Kecil
8. Sang Pencipta
9. Kasmaran
10. Kasut Tua



Terus terang saya kecewa. Dibandrol dengan harga Rp.100.000, saya membayangkan sebuah album dengan tatanan musik nan elegan laiknya kumpulan-kumpulan audiophile di pasaran. Namun, ternyata hasilnya tidak terlalu memuaskan, bahkan di beberapa bagian rekamannya terdengar pecah dan chorus. Kemasannya pun bikin saya patah pucuk, liriknya ditulis bertumpuk pada sisi album, bukan pada booklet khusus. Namun, semangat Pak Keenan menghasilkan karya lagi setelah dua dekade lamanya, patutlah diberi apresiasi.

Tembang-tembang di dalamnya, meski bukan materi baru, ternyata cukup menarik tuk disimak. Rancak melodi pada Zamrud Khatulistiwa terasa pas sebagai pembuka album. Harmoni musik petik pada Sang Pencipta menambah intim suasana syahdu pada lagunya. Hujan pun tampil begitu sendu dalam balutan piano nan lirih, lagi pipih. Melepas sisi romansa, Bidak Kecil hadir dengan tema humanis-spiritual.

Syukurlah, atmosfer bersahaja pada lagu Nuansa Bening tetap dipertahankan. Dibuka dengan denting piano nan lembut, dalam balutan bait puitis, saya seperti dibawa pada dekade sembilan puluhan, ketika lirik bersayap masih mampu menembus pasar utama.

Sebagai media nostalgi, pun dokumentasi, kumpulan terbaru Keenan Nasution tentulah dapat dijadikan koleksi menarik tuk didengar dan diakses di masa sekarang. Apa lagi album lokal seringkali tak bertahan lama peredarannya di pasaran. Hanya saja, entah kenapa saya belum menemukan kesan akustik di dalamnya, mungkin karena nuansa natural dan detail bunyinya tak terlalu terdengar. Minimnya informasi mengenai nama pemain musik juga berpengaruh pada kualitas album di mata saya.

Bagaimanapun, saya terharu dengan usaha Pak Keenan, bahkan di usia menjelang 61 tahun, beliau masih berkenan meramaikan kancah musik Indonesia. Besar harapan saya, penyanyi-penyanyi sukses di tahun 80 / 90-an lain mau mengikuti jejak beliau. Semoga suatu hari nanti, kita bisa mengakses histori musik Indonesia, baik dalam tafsir baru maupun lama, dengan mudah dan tanpa rasa bersalah. Amin.

28 November 2012

Sabtu, 24 November 2012

Jackie Evancho - Songs from the Silver Screen (2012)


Jackie Evancho - Songs from the Silver Screen (2012)

CD (Songs from the Silver Screen)
1. Pure Imagination (from Willy Wonka & the Chocolate Factory)
2. The Music of the Night (from Phantom of the Opera)
3. Can You Feel the Love Tonight (from The Lion King)
4. Reflection (from Mulan)
5. The Summer Knows (from Summer of 42, featuring Chris Botti, trumpet)
6. I See the Light (from Tangled, featuring Evancho’s brother Jacob Evancho, tenor)
7. What a Wonderful World (from Good Morning, Vietnam)
8. Se (from Cinema Paradiso, Italian lyrics, featuring 2Cellos)
9. My Heart Will Go On (from Titanic, featuring Joshua Bell, violin)
10. Come What May (from Moulin Rouge!, featuring The Canadian Tenors)
11. Some Enchanted Evening (from South Pacific)
12. When I Fall In Love (from Sleepless in Seattle)

DVD (Music of the Movies)
1. Pure Imagination
2. Can You Feel the Love Tonight
3. Some Enchanted Evening
4. What a Wonderful World
5. My Heart Will Go On (with Carolin Campbell, violin )
6. The Summer Knows (with Jumaane Smith, trumpet)
7. I See the Light (with Jacob Evancho, tenor)
8. Se
9. The Music of the Night
10. When I Fall In Love
11. Come What May (with The Canadian Tenors)
12. Reflection



Jacqueline Marie “Jackie” Evancho (12) tampil memukau ketika mementaskan lagu-lagu di album terbarunya, Songs from the Silver Screen. Dengan balutan orkestrasi klasik, Jackie bernyanyi memamerkan suara emasnya di depan teater. Di hadapannya, banyak telinga mendengar kagum, banyak mata tertuju takjub. Jackie berdiri bak seorang putri, dalam balutan gaun berwarna putih gading. Rambut pirangnya mengalun mengikuti gerak tubuhnya.

Ia lalu mendekamasikan rasa cintanya pada dunia film di sela-sela pergantian lagu. Sesekali ia bercanda, dan mengundang senyum di bibir penonton. Applause panjang pun tak pernah lupa diberikan padanya.

Begitu kira-kira penampilan Jackie dapat kita lihat pada rilisan deluxe edition di DVD albumnya. Sedang dalam ragam CD, kita dapat mendengar lagu-lagu populer dalam tatanan musik adiluhung, dengan lantang seriosa nan luhur. Ornamen biola pun menambah haru laras iramanya.

Ada jiwa nan syahdu dalam balutan rasa pada bait-bait Reflection dan Can You Feel the Love Tonight. Meskipun konsep pop pada tembang aslinya sudah tertanam di benak, Jackie mampu meleburnya menjadi begitu operatik tanpa terkesan asing dan kaku.

Lalu, bagaimana bila lagu-lagu romansa, seperti I See the Light (duet bersama saudaranya, Jacob Evancho), When I Fall in Love dan Come What May (duet bersama Canadian Tenors), dinyanyikan Jackie pada usia belianya? Meski sedikit gabir, ternyata ia mampu menaklukannya dengan baik. Bahkan ada kesan dewasa dalam suaranya tanpa harus kehilangan identitas.

My Heart Will Go On, menafsir kembali lagu tema sinema terpopuler dunia, Titanic, terdengar menyentuh dengan penambahan intro pada permainan biola Joshua Bell. Kesan jazz nan sublim hadir begitu manis ketika instrumen terompet Chris Botto merambat masuk dalam The Summer Know. The Music of The Night, kendati ragam aslinya sudah terdengar intim, lebur sempurna dalam balutan tatanan musik nan melodius.

Sebagai pembuka album, Pure Imagination diramu dalam cita rasa pretisius, memberi sentuhan klasik dan elegan, dan Jackie—beserta timnya, berhasil mempertahankan hal tersebut hingga tembang penutup, When I Fall in Love.


Pada album terbarunya, dara kelahiran 9 April 2000 tersebut memang mencoba menerjemahkan kembali lagu-lagu sinema dunia dalam tafsirnya sendiri. Bolehlah dicoba ketika jenuh dengan hiruk-pikuk industri musik pop belakangan, dan ingin sebentar bernostalgia, menenangkan benak dalam kelembutan musik nan indah. Bukankah bila ditoreh dengan hati dan jiwa, sebuah karya dapat terdengar begitu raya? Memesona =).

24 November 2012

Payung Teduh - Dunia Batas (2012)



Payung Teduh - Dunia Batas (2012)

1. Berdua Saja
2. Menuju Senja
3. Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan
4. Rahasia
5. Angin Pujaan Hujan
6. Di Ujung Malam
7. Resah
8. Biarkan



Payung, selalu mampu melindungi tanpa membatasi. Di hari panas ia menaungi, di hari dingin ia melingkupi. Sedangkan teduh, bila ditempatkan dalam konteks musik, tentulah bersimbiosis lengkap dengan suasana nyaman dan menyenangkan. Jadi, bila ada sebuah band bernama Payung Teduh, pastilah bisa ditebak, seperti apa musiknya?

Dan ternyata dugaan saya (sama sekali) tidak salah. Dengan aransemen akustik minimalis, dipadu ornamen pop-folk-keroncong-bossanova, kuartet cerdas Mohammad Istiqamah Djamad, Comi Aziz Kariko, Iwan Penwyn dan Alejandro Saksakame mampu mementaskan sebuah album dengan nuansa sangat Indonesia, Dunia Batas.

Coba tengok petikan kata dalam lagunya, begitu puitis dengan metafora nan manis. Suasananya pun diramu romantis dengan alunan musik nan lembut dan melankolis. Setiap nada mengalir indah, tak bosan didengar kali berkali.

Berdua Saja hadir begitu santun dalam balutan musik melayu. Tembang pop-folk Untuk Perempuan di Pelukan tampil damai dalam petikan gitar melodius. Menuju Senja, kendati dibuka dengan musik lebih menghentak, mampu memberikan suasana sendu dengan nukilan-nukilan langut dalam liriknya. Resah pun datang dengan lembut, laras iramanya benar-benar menerjemahkan dengan baik, lansekap suasana dalam baitnya. Angin Pujaan Hujan dan Biarkan terbingkai cantik dalam diksi puitis dan nada-nada harmonis. Di Ujung Malam, lagu dengan hanya lima baris lirik, tampil berbeda dengan membenamkan sedikit unsur keroncong dan menukarnya dengan irama musik Spanyol.

Pada sampul albumnya, kita dapat melihat sebuah pohon hampir tumbang karena ditiup angin dan hujan. Barangkali begitulah musik Indonesia. Kendati diterpa panas dan dingin, selama masih dapat menjaga akarnya tetap hangat di dalam tanah, ia pasti baik-baik saja.

Sesederhana pohon di musim panen, ketika kunang-kunang berkelindan menjadi busana malam, begitulah musik semestinya memeluk kita, dengan hangatnya.

24 November 2012

My Facebook

_